Sinopsis Drama Korea Mimi Episode 1 Part 2




Sinopsis Mimi Episode 1 part 2 (Mnet Drama)




Pagi pun datang, Minwoo beranjak dari duduknya bergegas mencari penjaga sekolah untuk meminta kunci ruang seni. Setelah mendapatkan kunci itu, ia membuka pintu ruangan kemudian mendapati Mimi yang masih tertidur pulas bersandarkan tembok ruangan.

Selagi Mimi tertidur, Minwoo pergi untuk mendapatkan sekotak susu segar, yang ia akan berikan pada Mimi. Minwoo pergi terlalu lama, karena sesampainya Minwoo di ruang seni, Mimi sudah tidak lagi berada di tempat. Pria ini menghembuskan nafasnya berat.



Semalaman tak pulang, Bibi sangat khawatir. Sebelum ia mengomeli Mimi, Bibi segera menarik Mimi untuk menemui dokter. Ia takut penyakit Mimi kambuh. Di ruang dokter, mereka membicarakan tentang penyakit Mimi, dokter bertanya, “Kapan terakhir kali dilakukan scan?” Bibi menjawab, “Tiga bulan yang lalu.”



Mimi tiba-tiba berkata dengan penuh kepastian, “Sepertinya aku tahu, penyakit apa yang aku derita ini.” Dokter dan Bibi memberikan tatapan serius mereka, berharap mendapatkan penjelasan medis yang tepat dari diri Mimi sendiri. Tapi…. Mimi malah menjawab, “Ini adalah penyakit hati. Hatiku berdetak sangat kencang. Di sini.. Berdetak.. berdetak.. dan.. Aku merasa pusing tapi semua itu terasa sangat hangat. Tiba-tiba saja aku melihat sesuatu,” ungkap Mimi yang berusaha menyatakan bahwa ia tengah jatuh cinta.



Di sekolah, tak seperti biasa, Minwoo mencari-cari Mimi. Ia melihat satu persatu siswi perempuan yang berjalan di koridor sekolah. Tapi tak menemukan gadis yang ia cari. Hampi saja, Minwoo salah mengenali seseorang. Dari belakang, rambut panjang gadis itu mengingatkannya pada Mimi. Namun setelah Minwoo mengikuti gadis itu, ternyata bukan. Hei.. Hei.. Minwoo is curious yeah~~


Tahun 2003 berlalu, Minwoo dewasa tengah mencari kenangannya yang hilang. Ia telah sampai di sekolahnya. Satu ruangan yang dicari Minwoo adalah ruang seni. Ia bertanya kepada salah seorang siswa hilir mudik di koridor. “Apakah kau tau dimana ruang seni,” tanya Minwoo. Siswi itu menunjuk ke salah satu ruang kelas tak jauh dari sudut koridor. Tahun sudah berlalu, tempat yang biasanya dijadikan sebagai kelas seni pun berpindah.



Melalui kaca kelas, Minwoo memperhatikan para siswa seni, mereka tengah melukis salah satu patung. Ia juga pernah melakukan hal yang sama. Kala itu, Minwoo, tidak dapat focus hanya pada satu benda. Sketsa yang dibuatnya selalu berbeda dengan siswa seni yang lain. Keanehan yang membuat Minwoo terasing, kanvas yang ada di hadapannya selalu dilukis dengan lukisan laut berwarna merah dengan dua karakter di sudutnya. Guru seni harus mengeraskan suaranya pada Minwoo, agar Minwoo dapat kembali focus ke inti dari pelajaran seni kala itu.


Seorang wanita setengah baya datang mendekati Minwoo, “Kau.. Kau Minwoo han kan? Sedang apa kau disini.” Minwoo tidak lagi dapat mengenali wanita yang menyapanya tadi. “Kau tidak ingat aku? Ah, aku pasti sudah terlalu tua hingga kau tidak mengingatku,” balas wanita yang ternyata adalah guru seni sekolah itu. Guru wanita mengajak Minwoo memasuki ruang kelas seni. Ia membawa dua cangkir kopi.



“Guru, mengapa kelas seni dipindahkan?” tanya Minwoo. Guru seni tertawa kecil, “Kau benar-benar bertanya karena kau tidak tau? Semua itu karenamu,” jawab guru. Tak ada satupun yang Minwoo ingat, tidak juga alasan kenapa kelas seni harus dipindah ke ruangan lain. “Karena kau. Kau yang membakar semuanya. Kau bercanda kan kalau kau tidak ingat? Kau bermain-main dengan seorang gadis saat itu, kalau aku tidak salah. Hey, jangan kira aku tidak mengetahuinya. Apa kau masih menemui gadis itu?” tanya guru tersebut dengan penasaran. Minwoo masih terdiam, tak bisa memberikan jawaban apapun.


Minwoo terus menerus bertanya-tanya pada dirinya sendiri. Gadis mana yang guru seni tadi maksud, kejadian kebakaran seperti apa yang melibatkan dirinya dan gadis itu? Lalu dimana keberadaan gadis itu saat ini? Seraya melangkahkan kakinya menuruni tangga, Minwoo dewasa kembali menggali lebih dalam tentang dirinya.




Di tahun yang berbeda dan di tempat yang sama, Minwoo muda juga tengah menuruni anak tangga. Ia tengah mencari Mimi, sedangkan Mimi pun melakukan hal yang sama, ia mencari-cari keberadaan Minwoo. Mimi dapat menemukan Minwoo, tapi Minwoo tidak dapat menemukan Mimi padahal jarak pandang mereka sangat dekat kala. Mimi tersipu malu, ia membalikan badan sehingga Minwoo tidak menyadari keberadaannya.



Di dalam kelas, seorang pria muda mendatangi Minwoo. Sketsa buatan Minwoo yang tengah dikerjakan terhenti karena hentakan pria tersebut, “Ini, perempuan yang di tengah itu, cantik kan?” pria muda itu menunjuk salah seorang gadis yang tersenyum manis di dalam sebuah foto. Itu adalah Mimi. “Buatkan aku sketsa close up dari wajahnya,” paksa pria tersebut.


Tak ingin Mimi jatuh pada pria lain, Minwoo mengambil tindakan. Ia sengaja datang ke salon milik keluarga Mimi hanya untuk membersihkan rambutnya. Minwoo membawa-bawa buku sketsa miliknya. Mimi gugup, ia tidak tahu harus berbuat apa, orang yang ada di hadapannya ini adalah orang yang ia sukai.




 Ia bertambah salah tingkah, saat menyadari bahwa kedua tangannya menyentuh rambut Minwoo. Pikirannya melayang entah kemana, hingga aliran air dari shower menyembur ke segala arah. Minwoo kaget lalu bangkit. Keduanya saling bertatapan canggung. Minwoo tak mempedulikan rambutnya yang masih terdapat shampoo, ia segera berlari pergi. Cute~



Setelah sampai di depan rumahnya sendiri, Minwoo tersenyum geli karena ulah Mimi tadi. Ia pergi dari salon dengan sangat terburu-buru sampai lupa dengan sketsa yang dibawanya. Buku sketsa itu tertukar. Pasti masih tertinggal di salon Mimi, pikir Minwoo. Senyumnya semakin merekah, karena ia memiliki alasan untuk bertemu kembali dengan Mimi.


Mimi yang mendapati buku sketsa Minwoo ada di meja rias salon, ia bersorak pelan. Melayangkan tangan ke udara, lalu tertawa bahagia. Ia bisa bertemu kembali dengan Minwoo, karena alasan buku sketsa ini.



Malam harinya, Mimi seharian menunggu kedatangan Minwoo untuk mengambil buku sketsa. Baru sampai malam tiba, Minwoo menampakkan batang hidungnya di hadapan Mimi. Dengan kaku mereka saling menatap satu sama lain. Mimi kemudian menyorongkan buku sketsa milik Minwoo, ia memberikannya dengan menunduk, sesekali mencuri pandang ke arah Minwoo. Minwoo masih ingin tetap berada di dekat Mimi, tapi tidak ada alasan yang tersisa. Dengan gugup dan tanpa berkata apapun, Minwoo keluar dari ruangan salon.

Minwoo berdiri sejenak di depan salon, ini kesempatannya untuk mengenal Mimi. Tapi ketika Mimi datang, niat Minwoo lenyap karena malu. Ia berlari kecil hingga menabrak sepeda yang terparkir di sana. Aw too cute~


Mimi mencoba menghentikan Minwoo, ia memanggilnya, “Hey..”
“Aku?” jawab Minwoo ragu. “Apa kau bisa mengendarai sepeda?” tanya Mimi. Minwoo mengangguk pelan.



Sesampainya di rumah, Minwoo menanyakan pada Ibu tentang sepedanya, “Ibu, apa kau melihat sepedaku? Aku rasa, aku menaruhnya di halaman depan.” Tak ingin dilihat oleh Minwoo, Ibu menutupi tumpukan bill dengan tangannya, “Minwoo, aku lupa mengatakannya padamu. Bagaimana kalau nanti aku membelikanmu yang baru. Seharusnya aku memberitahumu sebelum aku menjual sepedamu. Maafkan aku.” Minwoo segera menyadari sesuatu, tagihan semakin menumpuk dan Ibu harus menanggung segalanya, “Tidak apa-apa, bu. Istirahatlah,” jawab Minwoo.

Di dalam kamarnya, Minwoo membuka-buka kembali sketsa lukisannya. Ada note kecil yang Mimi selipkan di setiap lembar sketsa. Note yang dibuat Mimi menyesuaikan bentuk sketsa dengan materi alam yang lainnya. Hal sekecil itu mampu membuat Minwoo tersenyum manis.


“Cotton candy.”
“Tired eyes.”
“Turtle shell! Knock, knock!”


Pagi harinya, Minwoo memutuskan untuk memberikan semua tabungan yang ia miliki untuk sang Ibu. Ia hanya mengambil sedikit untuk membeli sepeda bekas yang usang tapi masih layak pakai.



“Ibu.. Ini,” Minwoo menyerahkan buku tabungan pada Ibu yang tengah menjemur pakaian. “Apa ini? Mengapa kau memberikan ini kepadaku?” Ibu menahan tangis harunya. “Aku hanya mengambil 20 dollar untuk membeli sesuatu,” jawab Minwoo seraya tersenyum.



Minwoo menetapi janjinya pada Mimi, ia mengajak Mimi ke tempat-tempat teduh, membolos jam sekolah untuk bisa saling bersama. Mereka mengitari taman kota. Saling berbagi cerita satu sama lain. Tapi tanpa sengaja sepeda Minwoo hilang keseimbangan karena terbentur batu kerikil kecil.




Keduanya jatuh bersamaan. Minwoo sangat mengkhawatirkan Mimi karena kakinya terluka, sedangkan Mimi tersenyum senang. Ini luka termanis pertama yang didapat Mimi, satu-satunya luka yang membuatnya tersenyum.




Setelah Minwoo mengobati kaki Mimi, ia kemudian membenarkan rantai sepeda yang rusak. Sudah beberapa kali ia memutar-mutar rantainya, tetap saja rantai sepeda itu tidak bisa kembali seperti semula. Mimi akhirnya mengajari Minwoo bagaimana cara membetulkan rantai sepeda yang terlepas, “Setelah kau memutar rantinya, kau harus meletakkan rantai di bagian ini terlebih dahulu, seperti ini. Kemudian, secara perlahan… putarlah pelan-pelan. Tadaa~~,” sorak Mimi.


Minwoo menahan tawa melihat hidung Mimi yang kotor karena oli dari rantai sepeda. Mimi bingung lalu berkata pelan, “Aku pernah membacanya dari buku sepeda,” ungkap Mimi lalu membalas senyum Minwoo dengan tawa lepas.


Mereka menyepi di daratan tinggi, jauh dari pusat kota, dengan duduk saling berdampingan, Minwoo bisa mengetahui kehidupan Mimi lebih jauh. “Apa kau baik-baik saja,” tanya Minwoo. “Aku baik-baik saja,” jawab Mimi. “Apakah masih terasa sakit?” tanya Minwoo yang masih khawatir. “Sebenarnya, aku tidak tahu dimana yang terasa sakit. Tapi aku tau kapan aku mulai merasakan sakit. Ibumu sakit berkepanjangan. Dan saat itu, ia pergi ke surga. Ayahku tidak pernah sakit, ia sehat. Tapi setelah Ibu pergi meninggalkan kami, Ayah berubah sakit.”


Minwoo memperhatikan Mimi yang tersenyum saat menceritakan dirinya. Mimi melanjutkan kata-katanya, “Ayahku pernah berkata bahwa tanpa ibuku, hidup itu seperti tanpa oksigen. Malam itu, ia berkata kepadaku bahwa dirinya akan mengikuti Ibu ke surge. Sejak saat itu aku sakit. Pasti aku menuruni penyakit ayah.” Mimi memperlihatkan foto Ayah dan Ibunya. “Tidak mengapa, karena Ayah mengajarkanku bahwa selalu ada cinta yang berharga dalam kehidupan. Kau tau, sebelum Ayah pergi ke surga, aku melihatnya dalam mimpiku. Saat itu aku bermimpi, ayah mengikuti Ibu.”



“Di dalam mimpi?” tanya Minwoo. “Iya,” jawab Mimi. Tanpa sengaja, Mimi melihat jam tangan rusak yang dipakai oleh Minwoo, “Apa ini karena terjatuh tadi?” sangka Mimi.



Ia kira, jam tangan yang dipakai Minwoo rusak karena jatuh dari sepeda. Minwoo tak menjawab apa-apa, ia menarik tangannya dari genggaman tangan Mimi. Sejenak, Mimi pernah melihat jam tangan itu sebelumnya, di dalam mimpinya.



Minwoo cemburu, ia tidak suka melihat Mimi dengan pria lain, meskipun pria itu adalah teman sekelas mereka yang juga pelanggan dari salon Mimi. Rasa cemburu membuat Minwoo pergi menjauhi Mimi.



Di bawah langit mendung, Mimi mengejar Minwoo. Mereka berdiri tak jauh dari sebuah telepon umum, dan sebuah jam kota berdetak di sana. Mimi memaksa Minwoo untuk memakai payung, “Pakai payung ini,” pinta Mimi yang cemas. “Aku tidak mau. Kau saja yang menggunakannya,” jawab Minwoo yang sebenarnya juga sama mencemaskan Mimi. “Aku bilang pakai payun gini. Jika kau tidak menggunakannya maka aku tidak akan menemuimu lagi. Aku serius,” ancam Mimi. Tapi Minwoo tidak menggubrisnya, ia pergi begitu saja.




Mimi yang kesal dengan sikap Minwoo, melampiaskannya dengan membuang payung berbentuk kepala boneka. Dan hujan pun turun deras, bersamaan dengan Mimi yang menangis tersedu. Di tengah lapangan yang basah, Minwoo memantulkan bola basket dengan keras. Melampiaskan rasa bersalahnya. Remaja labil :D


Untuk mengucapkan permintaan maaf, di tengah malam, Minwoo melukiskan sebuah lukisan di tembok pinggir salon Mimi. Ia mengerjakan hal itu sampai pagi tiba.



Mimi terkejut melihat lukisan laut dan pantai yang biasa tergambar di buku sketsa Minwoo, kali ini temboknya berubah menjadi kanvas lukis yang cantik. “Apa itu laut?” tanya Mimi. Minwoo mengangguk. “Dan apa itu kau?” tunjuk Mimi pada salah satu karakter pria yang terlukis di sana.



“Dan… apakah itu aku?” Mimi kembali menunjuk ke gadis yang terlukis di sana. Minwoo tak menjawab apapun, hingga membuat Mimi bersorak, “Ah, itu benar-benar aku.. Apakah kita bisa pergi untuk melihat laut? Ah, bagaimana kalau kita membuat tanda tanganmu di sana. Satu karya cipta itu harus memiliki satu tanda tangan pembuatnya,” ungkap Mimi seraya menarik tangan Minwoo.





Mimi membuka telapak tangan Minwoo lalu mengoleskan cat berwarna putih. Tak lama, sebelum cat putih mengering, Mimi membantu Minwoo untuk menempelkan telapak tangannya di tembok yang berlukis laut itu. “Nanti, kalau kau sudah terkenal, Aku akan menjualnya,” gelak Mimi.




Keesokan harinya. Mimi secara diam-diam mengintip  Minwoo yang tengah melukis dari balik lemari. Minwoo sebenarnya mengetahui keberadaan Mimi di sana. Pria ini hendak mengageti Mimi. Ia pergi dari tempatnya melukis lalu bersembunyi di tempat yang tak jauh dari lemari. Mimi heran melihat Minwoo yang sudah tidak lagi berada di tempat. Untuk mencarinya, Mimi keluar dari lemari. Bertepatan dengan hal itu, Minwoo mengagetkan Mimi.




Minwoo tergelak, sedangkan Mimi terjatuh karena kaget. Tak rela dikerjai seperti itu, Mimi mengejar-ngejar Minwoo dengan membawa sapu. Berniat untuk memukul Minwoo dengan sapu, tapi ketika kedua tanpa sengaja berpegangan tangan, suasana bertambah dingin dan kaku.


“Kenapa ruangan ini gelap sekali?” Mimi mencoba untuk mencairkan suasana. Minwoo bergegas untuk membuatkan api unggun kecil di mangkuk kecil, diisi dengan tumpukan batang korek api.




Di depan kanvas putih, Minwoo mendekatkan wajahnya ke wajah Mimi. Ia hendak mencium Mimi dengang gugup. Mimi teringat sesuatu, “Ah sebentar. Ada hal yang harus aku berikan padamu,” ungkap Mimi yang kemudian mengambil sekotak hadiah.



Saat Minwoo membuka kotak itu, ia terkejut. Mimi memberikannya sebuah jam tangan baru. “Apa kau menyukainya?” tanya Mimi, tangannya hendak melepas jam tangan lusuh dari tangan Minwoo, tapi Minwoo menolaknya. Ia pergi menjauhi Mimi, menghadapkan wajahnya ke luar jendela.



Perlahan, Minwoo menceritakan alasannya mengapa ia menolak hadiah jam tangan itu, “Laut yang aku gambar di dinding, ketika aku berumur 18 tahun, Ayah menjanjikanku untuk melihat laut itu bersama. Tapi aku sangat tidak sabar, maka secara diam-diam, saat itu, aku mengikuti Ayah kelaut. Aku sampai di pantai. Tanpa sepengetahuan Ayah, aku bermain di lautan. Ombak yang kencang menerjang. Aku tidak tau apa yang terjadi, tapi ketika aku membuka mata. Ayah yang menyelamatkanku, ia terbaring tepat disampingku tak bernafas. Selamat 3 tahun, aku tidak berbicara, karena saat itu aku merasa aku sudah tidak dapat melakukan apapun. Tapi perlahan, aku mengetahui hal yang bisa aku lakukan untuk mengenang Ayah, adalah dengan melukis.”


Mimi mendengarkan setiap perkataan Minwoo. “Jam ini.. juga mengingatkanku pada Ayah,” air mata Minwoo berjatuhan dari pelupuk matanya. “Kau tau, saat seseroang pergi meninggalkanmu, yang tersisa hanyalah kepedihan. Kau hidup tapi secara bersamaan kau merasa mati.”



Mimi berjalan pelan mendekati Minwoo. Ia merendahkan wajah, lalu mengecup lembut bibir Minwoo.



Karena malu dengan apa yang dilakukannya, Mimi memundurkan diri, ia mengalihkan diri dengan membuka-buka buku sketsa milik Minwoo. Sama seperti pria remaja lainnya, Minwoo yang labil menggambar hal-hal labil-ala-boys di sketsanya. Minwoo mengambil sketsa tersebut lalu berlari pergi meninggalkan Mimi.


Keesokan harinya, hubungan keduanya menjadi canggung. Tapi ketika keduanya menyadari betapa saling membutuhkannya mereka, baik Minwoo ataupun Mimi bergegas untuk menemui satu sama lain. Tapi malang, takdir tak mengizinkan mereka untuk kembali bertemu. Keluarga Minwoo harus pergi dari rumah sewa mereka. Minwoo dan Mimi saling bersilang jalan. Minwoo melihat Mimi yang tengah mengendari sepeda dari balik jendela mobil.



Tak ada yang bisa Minwoo lakukan, kecuali meninggalkan Mimi dan membangun kehidupan baru bersama ibu. “Maafkan aku. Aku tidak pernah membenci ayahmu yang meninggalkanmu bersamaku. Keberadaanmu adalah hal yang terbaik yang aku punya,” ungkap Ibu dalam perjalanan ke tempat lain.



Tahun 2003 berlalu. Minwoo dewasa semakin dekat dengan memory hidupnya yang hilang. Di bawah hujan, setelah pergi ke sekolah lamanya, Minwoo kembali mendapat kontak user webtoon yang pernah mengatakan kalau user tersebut mengetahui kehidupan Minwoo yang sebenarnya. Dengan bantuan leader team webtoon, Minwoo mendapatkan alamat rumah user tersebut.


Mimi terus menerus mengikuti Minwoo, ia berusaha untuk melindungi Minwoo dari hujan dengan payungnya, “Pakai payung ini.. Aku mohon,” pinta Mimi yang berjalan dibelakang Minwoo. “Aku mohon, jangan Minwoo. Jangan pergi ke tempat itu,” Mimi kembali membuat pengharapan untuk kebaikan Minwoo.


Sesampainya di depan sebuah pintu apartement yang kumuh, Minwoo menekan belnya beberapa kali. Seorang pria yang menutupi luka bakar di matanya dengan rambut itu keluar menyambut kedatangan Minwoo dengan tatapan mengancam.


“Apa kau adalah user yang menulis komentar itu di webtoon?” tanya Minwoo dengan cepat. “Kau tidak ingat aku? Aku ingin mengatakan segalanya padamu dari mulutku sendiri, tapi sebaiknya kau yang harus mencari tahunya sendiri,” ungkap Sang pria yang tak lain adalah teman sekelas Minwoo beberapa tahun silam.
Bersambung Sinopsis Mimi Episode 2 (Mnet Drama)