Sinopsis Mimi Episode 3 part 2




Sinopsis Mimi Episode 3 part 2



Minwoo dan Eun Hye, secara bersama-sama mencoba membangkitkan ingatan Minwoo dengan melakukan semua hal yang berkaitan dengan sketsa Minwoo. Minwoo tak sepenuhnya percaya kalau reka ulang kejadian di sketsa ini akan berhasil. Tapi, Minwoo akan mencobanya.


Di lembar pertama sketsa milik Minwoo, di sana tergambar dua buah pencil dan sisa-sisa kayu serut berhamburan. Itu memberikan petunjuk bahwa keduanya harus pergi ke ruang seni sekolah SMA Minwoo. Mereka melewati koridor kelas, kemudian mengintip keadaan kelas yang kosong dari balik jendela. “Ruangan ini yang selalu ada di ingatanku,” ungkap Minwoo. Eun Hye membuka pintu lalu mengajak Minwoo untuk masuk ke dalam ruangan. “Sedang apa kau? Ayo masuk,” ajak Eun Hye pada Minwoo yang masih berdiri di luar kelas seni.



Menyesuaikan dengan gambar sketsa yang ada, Eun Hye menyerut pensil yang sudah kecil hingga lancip, lalu menaruhnya tepat di atas sketsa pencil. “Apa kau mengingat sesuatu?” tanya Eun Hye. Minwoo yang duduk di samping Eun Hye tak menjawab apapun, ia hanya memandang kosong pada Eun Hye yang tengah menaburi sisa serutan kayu pencil di atas sketsa.



Eun Hye membalas tatapan Minwoo, meminta jawaban, apakah Minwoo mengingat satu hal saja? Minwoo tak mengingat apapun.



Sketsa ruang seni, pencil dan taburan serutan kayu pensil, tak berhasil. Keduanya  beralih ke lembar sketsa yang kedua. Di sana tergambar, jajaran pepohonan yang merindangi jalan dan dua orang yang tengah menaiki sepeda. Minwoo sengaja menyewa sepeda untuk dipakai sementara waktu saat mengelilingi taman. Ia tersenyum ke arah Eun Hye seraya mengajaknya untuk menaiki jok belakang sepeda. “Ayo,” ajak Minwoo seraya menarik lembut tangan Eun Hye.

Awalnya Eun Hye enggan, tapi Minwoo terus memaksa, dengan ragu dan gugup Eun Hye menurutinya. Ia duduk di belakang Minwoo, menaruh kedua genggaman tangannya di jaket yang Minwoo kenakan.


Seraya mengayuh sepeda Minwoo ingin menanyakan sesuatu, “Ada hal yang ingin aku tanyakan.” Eun Hye segera menjawab, “Tanyakan saja, asal jangan menanyakan tentang cinta pertamaku,” jawab Eun Hye dengan sungguh-sungguh. Minwoo melanjutkan pertanyaannya, “Sebenarnya berapa berat badanmu?” tanya Minwoo, ketika sepedanya sedikit oleng. LOOOOOOOOOL.

“Apa tidak apa-apa, keluar seperti ini?” Minwoo bertanya karena Eun Hye adalah seorang pemimpin webtoon. Pemimpin yang seharusnya selalu ada di kantor mengawasi para pekerjanya. “Tidak masalah. Aku berada di posisi ini karena dukungan ayahku,” jawab Eun Hye. “Aku penasaran, sebenarnya apa mimpi yang kau miliki? Impian seperti apa yang diinginkan oleh seorang putri presiden sepertimu?” tanya Minwoo lagi. “Aku.. Aku ingin menjadi penjual gulali. Kau tau kan gulali? Aku ingin membuat gulali terbesar, menggulung-gulung gulali sampai berbentuk sangat besar,” jawab Eun Hye pada Minwoo. Ia berbagi impian sederhananya.



Hingga senja berlalu, Minwoo dan Eun Hye mengakhiri pencarian serpihan kenangan-untuk-Minwoo dengan sketsa terakhir. Di dalam sketsa tergambar, secangkir cocoa dan botol serbuk garam. Minwoo memesan coffee sedangkan Eun Hye memesan cocoa sesuai dengan gambar sketsa di kertas itu. “Mengapa kau bisa tahu kalau ini adalah cocoa dan bukan coffee?” Minwoo penasaran. Ia bahkan sama sekali tidak membedakan gambarnya sendiri, apakah yang ada di sketsa itu secangkir coffee atau secangkir cocoa. “Kau lihat ini,” Eun Hye menunjuk pada sketsa botol serbuk garam. “Ada label garam. Jika kau menambahkan garam pada cocoa, maka cocoa akan terasa lebih manis.”



Eun Hye menambahkan sedikit garam pada cocoa, hingga rasanya lebih manis. Tapi Minwoo mengelak kalau ia tidak suka sesuatu yang manis, “Aku tidak terlalu suka makanan atau minuman yang manis.” Eun Hye menjawab, “Mungkin saja, dulu kau menyukainya”, jawab Eun Hye seraya menyorongkan secangkir cocoa yang sudah ditaburi garam ke hadapan Minwoo. Minwoo menyeruput cocoa yang Eun Hye berikan, lalu menatap Eun Hye dengan tatapan aneh karena rasa minuman itu yang tidak sesuai dengan lidah Minwoo.



Minwoo kemudian menunjukkan handphone yang pernah ia pakai kala SMA, “Ini handphone yang aku pakai saat itu.” Eun Hye membuka data di dalam handphone lalu menunjukkan sesuatu, “Sepertinya ada sebuah rekaman di sini. Apa ini masih berfungsi? Sudah lama sekali,” Eun Hye ragu. Minwoo menggunakan handphone ini 10 tahun yang lalu, mesin handphone masih berfungsi tapi data-data di dalam sudah banyak yang hilang. Jadi, handphone itu pun sama sekali tidak membantu. Bahkan dengan bantuan Eun Hye pun Minwoo tidak berhasil mendapatkan sedikitpun kenangan tentang wanita yang ia gambar di dalam buku sketsanya.



Hari ini sudah cukup Eun Hye mendengar banyak cerita dari Minwoo, bagaimana kalau sebaliknya, Eun Hye menceritakan tentang cinta pertamanya, “Tadi, kau mengatakan bahwa kau tidak ingin di tanya tentang cinta pertamamu? Bukankah itu sama saja kau ingin ditanya perihal tersebut?” tanya Minwoo. “Ti.. Tidak,” jawab Eun Hye. Ia menutupi rasa gugupnya dengan meminum cocoa yang baru saja diminum oleh Minwoo. “Mengapa kau putus dengan cinta pertamamu?” tanya Minwoo lagi. “Ah, kue ini benar-benar tidak terlalu enak bila dimakan dengan perasaan seperti ini,” alih Eun Hye.


Agar Minwoo tidak banyak bertanya tentang cinta pertamanya, Eun Hye menatap langit hitam yang mulai menurunkan rintik hujan, “Wah, di luar hujan deras,” pekik Eun Hye. “Aku akan pulang terlebih dahulu,” pamit Minwoo dengan senyum. Eun Hye mengangguk pelan.


Minwoo menerobos hujan dengan sepedanya. Belum jauh ia mengayuh sepeda, tiba-tiba rantai sepeda itu rusak. Hingga mengharuskan Minwoo untuk berhenti di trotoar jalan. Minwoo membiarkan hujan membasahi dirinya, selagi tangannya berusaha untuk memperbaiki rantai rusak.


“Apa kau tidak apa-apa?” tanya Eun Hye yang menghentikan mobilnya di hadapan Minwoo. Ia bertanya dari dalam mobil. Minwoo mengangguk, “Aku baik-baik saja.” Mengetahui hal itu, Eun Hye kembali melajukan mobil untuk meninggalkan Minwoo. Tapi, seketika, Eun Hye yang tidak tega melihat Minwoo kembali menghentikan mobilnya. Eun Hye mendekati Minwoo dengan membawakan payung untuknya.


Di bawah naungan payung yang Eun Hye berikan, Minwoo masih tetap kesulitan memperbaiki rantai sepeda. De ja vu!



Ini sebuah de ja vu. Perlahan, Minwoo dapat mendengar suara Mimi di masa lalu. Masa saat mereka masih di SMA, Mimi pernah memberitahukan Minwoo bagaimana cara memperbaiki rantai sepeda. Suara itu terdengar sangat jelas, seolah-olah Minwoo kembali ke diri remajanya. “Pertama kau harus mengaitkan rantainya dari belakang, lalu putar perlahan dari arah depan. Maka tadaaa~~” lontar Mimi dengan ceria saat itu. Senyum Mimi tergambar jelas sekarang, suara Mimi sudah tidak asing lagi, dan Minwoo teringat dengan wajah Mimi. Walaupun begitu, ia masih belum mengetahui dimana keberadaan Mimi saat ini. Juga sama sekali tidak mengetahui bahwa Mimi sudah tidak ada lagi berada di alam yang sama dengannya.



Dari de ja vu, flashback tentang kencan pertama Minwoo dan Mimi diputar bergantian di sudut ingatannya. Sekelebat kenangan manisnya dengan Mimi semakin membuat Minwoo terhenyak. Kala itu, Mimi mencoba untuk mengagetkan Minwoo dari arah belakang. “Boo!” Mimi mencoba menganggetkan, lalu tertawa riang. Tapi Minwoo menjawabnya dengan dingin, “Buyyaa.” Sontak, Mimi terdiam dan kini giliran Minwoo yang tertawa terbahak, “Hei, apa kau marah? Aku hanya bercanda.. Jangan marah,” pinta Minwoo seraya tertawa bahagia.


Cocoa dan garam. Bukan Minwoo yang menyukai minuman itu, tapi Mimi. Minuman hangat favorite Mimi yang selalu dipesannya setiap kali mereka bersama.


Pensil dan serutan kayu. Saat Mimi berada di samping Minwoo, yang bisa ia lakukan hanya membantu Minwoo menyerutkan pensil-pensil yang berukuran kecil.


Itu hanya separuh kenangan yang Minwoo dapat ingat, tapi sangat berarti bagi Minwoo. Lebih berarti dari apapun. “Dapatkah kau mengantarkanku pulang?” pinta Minwoo dengan tatapan kosong pada Eun Hye. Eun Hye yang mengiyakan segera menjalan mesin mobil. Suasana di dalam mobil semakin dingin karena tak ada satupun dari mereka yang memulai pembicaraan.



“Mmm.. Sesungguhnya.. Aku… tidak pernah berbicara dengan seseorang yang aku suka lewat telepon,” ungkap Eun Hye. Minwoo memperhatikannya sekilas. “Aku bilang.. Aku belum pernah memiliki pacar. Karena aku tidak pernah mau memberikan hatiku dan sebaliknya. Itulah kenapa aku sangat iri pada gadis ini, iri padamu. Semua rasa iri itu membuatku benar-benar ingin menangis.” ungkap Eun Hye mencoba mencairkan suasana. Minwoo hanya menatapnya sesaatnya, lalu kembali menyandarkan diri kemudian menutup mata.



Sedikit kenangan tentang Mimi yang dapat diingat oleh Minwoo memberikan inspirasi bagi webtoon garapannya. Karena cinta adalah inspirasi dari segala hal yang ada di dunia ini. Berkat kenangan penuh cinta itu, Minwoo dapat membuat karakternya dengan sempurna. Mata yang tadinya adalah hal tersulit bagi Minwoo untuk dituangkan dalam kanvasnya, sekarang itu semua berubah menjadi mudah. Dalam satu malam, Minwoo berhasil menyelesaikan separuh cerita webtoonnya. Sesungguhnya, webtoon buatan Minwoo itu adalah penggalan-penggalan puzzle yang masih memiliki banyak ruang kosong.


Pagi itu, Minwoo mendapatkan telepon dari Wang Boo Ra. Teman lamanya yang sangat ramah, yang juga memiliki profesi sebagai seorang polisi. Ia mengabarkan kepada Minwoo tentang Kyung Jin, pria yang memiliki luka bakar di bagian wajahnya. “Hai, ini aku. Tentang Kyung Jin, aku melakukan sedikit penelusuran tentang dirinya. Sepertinya, pria itu terkena bencana. Korek api tanpa sengaja terjatuh dan membakar selimut, hingga membakar separuh wajahnya. Setelah kejadian tersebut, aku dengar Kyung Jin memutuskan hubungan sosial dengan banyak orang. Ah, iya.. Kyung Jin juga menikahi Yang Jung, teman kita. Sekarang mereka bercerai. Aku rasa Yang Jung tahu nomor telepon Kyung Jin.”



Mendegar penjelasan Wang Boo Ra, Minwoo segera menemui Kyung Jin. Beruntung, Kyung Jin baru saja pulang dan sebelum ia masuk ke dalam apartmentnya Minwoo memanggil Kyung Jin, “Kim Kyung Jin?” Kyung Jin menjawabnya dengan dingin, “Han Min woo.” Minwoo menatapnya penuh harap, “Mimi, dimana dia sekarang? Mimi..”


Kyung Jin menjawab pertanyaan Minwoo, “Dia sudah mati. Mimi sudah mati. Aku bilang Mimi sudah mati. Apa kau lupa? Hari itu, aku melihat semuanya,” ungkap Kyung Jin. Minwoo membeku, lidahnya kelu.

Dan Mimi pun membagi ceritanya..
Desember 2003.



Saat itu, hari pertama Minwoo meninggalkan desa untuk pindah ke kota Seoul. Ia meninggalkan Mimi tanpa sepatah katapun, tidak juga ucapan selamat tinggal. Minwoo dan Ibu pindah ke Seoul karena Ibu tidak bisa membayar tagihan hutang yang menumpuk. Dengan kata lain, Ibu mengajak Minwoo untuk melarikan diri dari penagih hutang. “Aku tidak pernah merasa menyesal. Juga tidak marah pada ayahmu yang pergi begitu saja dan hanya meninggalkan hutang,” ungkap Ibu kala itu saat perjalanan mereka berpapasan dengan Mimi. Ibu menggenggam tangan Minwoo dengan erat.


Minwoo memperhatikan Mimi dengan penuh harapan. Relungnya ingin memanggil Mimi, tapi tertahan. Minwoo yang hendak menelpon Mimi pun tidak bisa, karena Ibu mengambil handphone Minwoo. Ibu takut, kalau penagih hutang akan menelponnya lewat nomor yang Minwoo miliki.

Mimi mengayuh sepedanya dengan cepat, tanpa mengetahui kalau mobil besar yang baru saja melintas di sampingnya adalah mobil yang membawa Minwoo pergi. “Bagaimana? Ia bilang, ia tidak bisa naik sepeda,” lirih Minwoo saat melihat Mimi dapat mengayuh sepeda dengan baik.


Sesampainya di sekolah, Mimi tidak bisa menemukan Minwoo. Ia mencarinya ke segala penjuru. Tak ada sosok Minwoo, yang Mimi temukan hanya goresan gambar Mimi di atas meja yang dibuat oleh Minwoo.



Kemudian, saat Mimi pergi ke rumah Minwoo. Penagih hutang sedang mengobrak-abrik rumah itu. Hari berlalu, Minwoo tak kunjung datang. Tidak ada kabar apapun dari Minwoo, membuat Mimi menderita. Gadis ini enggan untuk makan, selalu menangis di depan lukisan yang Minwoo buat. Ia merindukan Minwoo, rasa rindu yang membuat penyakitnya yang dideritanya semakin parah.


Tanggal 8 desember 2003, telepon salon berdering nyaring. Mimi yang hendak berangkat untuk menemui dokter, kembali kedalam ruangan salon lalu mengangkat telepon itu. “Hallo..” sapa Mimi dengan lemah. Tak ada jawaban apapun, Mimi menyadari bahwa orang yang menelpon ini adalah Minwoo. “Minwoo? Apa ini kau?” tanya Mimi. Minwoo menelpon dari telepon umum di depan sebuah jam kota, “Iya. Mimi. Aku ingin menemuimu jam tujuh di depan menara. Aku akan menunggumu,” ungkap Minwoo yang segera menutup teleponnya tanpa mendengar terlebih dulu semua hal yang akan Mimi katakan.


Saat suara Minwoo tak lagi terdengar, Mimi bertanya pada bibinya, “Bibi, ini tanggal berapa?” Bibi menjawb, “tanggal delapan desember. Jam lima lewat lima puluh. Cepat, dokter Park sudah menunggu.” Ajak Mimi. Mimi segera bangun dari duduknya, ia tersenyum ke arah Bibi, “Ini bukan mimpi. Aku sedang tidak bermimpi. Bibi, aku sudah baikkan sekarang.”



Dengan rasa bahagia yang menyelubunginya, Mimi memilih baju terbaik yang ia punya. Karena hari ini ia akan bertemu kembali dengan Minwoo.



Mimi mematut-matutkan diri di depan cermin, saat ia melihat jam. Mimi kembali teringat kilasan mimpinya sendiri. Di mimpi tersebut, Minwoo tengah berdiri menunggunya, pria bertongkat mengawasi di atas menara dan dentangan jam terhenti pada angka tujuh.


Mimi mengetahui bahwa hal buruk akan terjadi, ia segera menelpon Minwoo, tapi telepon Minwoo mati. Sampai akhirnya, Mimi hanya bisa meninggalkan pesan, “Minwoo.. Dengarkan aku baik-baik.. Aku akan menemuimu.. Tapi, …” kilasan Minwoo yang hendak tertabrak oleh sebuah mobil membuat Mimi menghentikan kata-katanya.


Di depan menara, dentangan jam kota membuat Minwoo semakin tak sabar menunggu kedatangan Mimi. Walau Minwoo tak pernah mau melepaskan jam tangan milik Ayahnya, ia tetap memakai jam pemberian Mimi di pergelangan tangannya yang lain. Pria bertongkat pun sama, ia sedang menunggu sesuatu.... Menunggu pertukaran kematian dua orang yang saling mencintai, Mimi dan Minwoo.
Bersambung Sinopsis Mimi Episode 4 part 1


Mimi Episode 4 Preview
Minwoo: “Mimi tidak mati. Tidak, ia belum mati?!!!”
Kyung Jin: “…..”


Mimi: “Jangan mengingat hal itu.. Jangan. Aku tidak ingin bertemu denganmu.”
Minwoo: “….”

Pria bertato: “Jika bulan bersembunyi, maka waktu akan semakin memanjang.”
Minwoo: “….”


Mimi: “Cukup aku saja yang menderita.”
Minwoo: “Ini tidak berguna sama sekali…”
Minwoo: “Aku ingin mengatakan….”